Pages

Sastra Bebas Headline Animator

Jumat, 08 Juni 2012

Penjara Bukan Solusi!

Sudah bukan rahasia lagi, penjara bukanlah tempat yang kondusif bagi pengguna narkoba. Dalam artian, penjara bukan menjadi jawaban untuk membantu pecandu narkoba untuk mencapai kesembuhan. Sudah menjadi rahasia umum pula, kalau pecandu narkoba bisa “naik pangkat” ketika sudah pernah mencicipi dinginnya lantai penjara. Awalnya hanya pengedar kemungkinan besar bisa menjadi bandar. Kondisi ini tentu kontradiktif dengan tujuan awal pemidanaan bagi pecandu narkoba, memberi efek jera. Alih-alih menjadi kapok, pecandu nakoba justru bisa menjadi rantai baru bagi peredaran narkoba.
Dari Pengalaman saya sebagai seorang pecandu Narkoba yang di penjarakan di Lapas Narkotika Yogyakarta, dan ternyata di Dalam lapas Narkotika Yogyakarta, ada bisnis Narkoba yang dijalankan Oleh Napi yang dilindungi Oleh KPLP dan Bimaswat, dimana setiap napi jika ingin mendapatkan alat komunikasi secara resmi menurut versi oknum petugas Lapas, harus membayar, Rp, 2,5 juta/ bulan alat komunikasi yang di gunakan untuk transakasi narkoba, yang dimana alat komunikasi akan di berikan pada jam 9 pagi dan di kembalikan kepada okmun petugas lapas jam 5 sore setiap harinya seperti itu, bayangkan jika ada 10 orang napi yang menjalankan bisnis tersebut penghasilan oknum petugas lapas narkotika setiap bulannya bisa mencapai Rp. 25 juta . sedangkan setahu saya yang menjalan bisnis narkoba tersebut tidak hanya 10 orang kurang lebih ada 35 orang.
Model Transaksi di Yogya dan Jawa Tengah adalah dengan Sistem Transfer via E Bangking, dimana para konsumen memesan Narkoba yang dibutuhkan dengan cara menghubungi operator yang ada didalam Lapas, setelah konsumen mentransfer uang sesuai jumlah pembeliannya, lalu si konsumen akan mendapatkan sms alamat dimana narkoba itu ditaruh, biasanya para kurir yang menaruh dan membuat alamat adalah orang yang berada di luar lapas Narkotika, sebagian besar kurir tersebut tidak mempunyai pekerjaan, sehingga dia terpaksa mengambil pekerjaan tersebut, karena setiap kurir mengirim narkoba pada salah satu alamat dia akan mendapatkan upah antara Rp. 25.000 sampai Rp. 200.000, tergantung dari jumlah pemesanan konsumen.
Tidak usah jauh-jauh. Tertangkapnya KALAPAS NUSAKAMBANGAN akibat tersandung kasus narkoba bisa dijadikan parameter. Pihak yang seharusnsya menjadi pengawas agar bisa menimalisir peredaran narkoba justru berbisnis narkoba. Tentu bisa dibayangkan betapa kronisnya bisnis peredaran narkoba dalam penjara. Penjara bukan tempat yang bersahabat bagi pecandu untuk mencapai kesembuhan. Sehingga, diperlukan sistem terpadu yang lebih memiliki daya dukung bagi pecandu narkoba untuk mengatasi ketergantungannya. Kenyataan ini menjadi bukti sahih bahwa ada yang tidak beres dengan manajemen lapas terkait dengan narkoba.
Hasil penelitian terhadap napi narkoba di lapas dan Rumah Tahanan Negara, hasil kerja sama Bada Pusat Statistik dengan Badan Narkotika Nasional tahun 2006 menemukan sebanyak 8,7 persen dari 1868 responden penghuni lapas pernah memakai narkoba. Artinya, sebanyak 162 orang napi pernah memakai narkoba. Bayangkan berapa jumlah pemakai narkoba dalam penjara jika di dibandingkan dengan jumlah napi sesungguhnya. Namun hasil penelitian bisa saja berbeda dengan kenyatan yang ditemui di lapangan. Bukan tidak mungkin pemakai narkoba di penjara persentasenya jauh lebih besar. Bahkan 4,4 persen pernah melakukan transaksi narkoba dalam penjara dan 9,5 persen responden mengaku pernah ditawari narkoba oleh sesama narapidana.
Harus diakui kebanyakan lembaga permasyarakatan di berbagai daerah di Indonesia sudah overload, Banyaknya penghuni lapas.  Transfer ilmu kejahatan menjadi lebih mudah dilakukan. Apalagi untuk kasus narkoba. Peluang bertemunya bandar besar dengan bandar kecil menjadi sangat besar. Belum lagi dengan pecandu yang sebelumnya hanya berstatus pemakai. Bahkan, banyak pihak menyebutkan, bisnis narkoba di luar penjara dikendalikan dari dalam penjara.
Kondisi ini diperparah dengan minimnya fasilitas kesehatan di lapas. Banyak napi yang tidak mendapat perawatan kesehatan semestinya akibatnya minimnya jumlah tenaga medis. Bahkan, untuk mendapatkan perawatan kesehatan, sejumlah napi mengaku harus menyetorkan sejumlah uang tertentu. Tidak heran, angka kematian napi di penjara semakin meningkat dari tahun ke tahun. Kematian ini, mayoritas, disebabkan napi bersangkutan mengidap HIV positif atau penyakit bawaan. Sehingga ketika tidak mendapat perawatan yang layak, kondisi kesehatannya semakin memburuk dan berujung pada kematian.
Sehingga, untuk mencegah semakin meluasnya peredaran narkoba dalam penjara, dibutuhkan mensejahterakan para sipir secara ekonomi. Namun, sayang UU Narkotika No.35/2009. mempunayai 2 wajah dan tidak bisa menentukan, siapa yang bisa dikategorikan sebagai pengedar dan siapa yang dikategorikan sebagai pecandu. meskipun sudah ada pasal rehabilitasi bagi pecandu, namun jarang sekali bahkan hampir tidak ada pecandu yang mendapatkan vonis rehabilitasi, kecuali pecandu tersebut dari kalangan orang kaya, itupun masih harus dipenjarakan bukan di rehabilitasi meskipun hanya 4 bulan penjara. Dengan adanya pemilahan ini, maka penempatan tahanan juga bisa diseleksi. Pengedar kelas kakap tentu harus dijauhkan dari tahanan lain. Sedangkan pecandu biasa tentu harus diawasi lebih ketat agar tidak kembali memakai narkoba. Begitu juga petugas lapas. Mereka yang bekerja di lapas harus dipilih orang-orang yang memang punya komitmen tinggi untuk mencegah peredaran dan pemakaian narkoba, idealnya.
Nantinya, lapas khusus narkoba ini juga hendaknya dilengkapi dengan poliklinik untuk tahanan yang berstatus Orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Selain itu lapas narkoba ini juga dilengkap dengan Voluntary Counseling and Test (VCT) atau tempat konseling tes sukarela bekerja sama dengan rumah sakit dan lembaga swadaya masyarakat. Pembangunan poliklinik ini merupakan upaya untuk menekan angka kematian di lapas akibat kasus HIV/AIDS yang diderita narapidana kasus narkoba.
Selain penyediaan konseling HIV, poliklinik dalam lapas khusus narkoba juga hendaknya mengupayakan harm reduction (pengurangan dampak buruk). Para napi itu dites urinenya sehingga bisa digolongkan mana saja pengguna narkoba aktif. Mereka yang kadar adiksinya rendah bisa mensubstitusi narkotika dengan metadhone. Tingkat adiksi metadhone yang relatif rendah akan membuat napi bisa berperilaku lebih produktif dan positif. Dengan demikian, pecandu bisa melakukan kegiatan bermanfaat buat dirinya.
Tidak ada alternatif lain untuk membantu napi narkoba untuk mengatasi ketergantungan terhadap narkoba. Persoalan narkoba tidak bisa diselesaikan dengan metode represif dengan menghukum pemakai narkoba dengan pidana penjara. Harus ada alternatif lain. Sekarang, political will pemerintah mutlak diperlukan untuk memanusiakan napi. Tidak hanya menjadikan pecandu sebagai komoditas atau obyek eksperimental di dalam penjara. Jangan sampai penjara membuat napi khususnya pemakai narkoba tersandera hak-haknya. Apalagi tergadaikan harga diri dan hak asasinya. Sebab, napi juga manusia.

0 comments:

Posting Komentar